Fast Fashion 2.0: Bisakah Brand Murah Benar‑Benar Ramah Lingkungan?


Tumpukan pakaian bekas fast fashion di pusat daur ulang tekstil
Foto - pixabay


Fast fashion telah menjadi ikon industri mode selama dua dekade terakhir: tren berubah cepat, produksi murah, dan harga terjangkau. Tapi dampak lingkungannya sangat serius — dari emisi karbon tinggi, pencemaran air, hingga limbah tekstil yang menggunung. Kini, di tahun 2025, muncul istilah baru: Fast Fashion 2.0.

Brand besar mulai mengklaim “ramah lingkungan”, “berkelanjutan”, atau bahkan “net-zero”. Tapi apakah benar brand fashion murah bisa ramah lingkungan? Ataukah ini hanya wajah baru dari praktik lama bernama greenwashing?

Apa Itu Fast Fashion 2.0?

Fast Fashion 2.0 merujuk pada evolusi industri fast fashion yang:

  • Mengklaim menggunakan bahan daur ulang (recycled polyester, organic cotton),

  • Memperkenalkan program pengembalian pakaian,

  • Menambahkan label seperti "Conscious Collection" (H&M), "Join Life" (Zara), atau “Primark Cares”.

Tujuannya jelas: merespons tekanan konsumen yang semakin sadar lingkungan, terutama dari generasi Z dan milenial.

Tantangan Fast Fashion yang Sulit Diatasi

1. Produksi Massal & Over-Consumption

Brand fast fashion merilis ratusan hingga ribuan desain baru setiap tahun, mendorong konsumen untuk terus membeli pakaian baru, lalu membuang yang lama.

💬 “Kita tidak bisa membeli jalan keluar dari krisis iklim.” – Elizabeth Cline, penulis “Overdressed”

2. Kualitas Rendah = Umur Pendek

Pakaian fast fashion sering dibuat dengan kualitas rendah, menyebabkan umur pakai yang pendek dan cepat masuk tempat sampah.

3. Rantai Pasok Global yang Rumit

Banyak produksi dilakukan di negara berkembang dengan pengawasan lingkungan minim, jam kerja panjang, dan upah rendah.

Strategi “Hijau” Brand Fast Fashion

H&M: Garment Collection Program

  • Pelanggan bisa mengembalikan pakaian lama ke toko.

  • Diiklankan sebagai “solusi daur ulang”.

➡️ Namun: hanya 1% dari pakaian yang dikumpulkan benar-benar didaur ulang menjadi pakaian baru.

Zara: Join Life Label

  • Klaim menggunakan bahan “lebih berkelanjutan”.

  • Target net-zero tahun 2040.

➡️ Namun: Zara masih memproduksi lebih dari 450 juta item/tahun.

Primark Cares

  • Menawarkan produk berbahan organik.

  • Menargetkan semua produk berasal dari sumber etis pada 2030.

➡️ Namun: harga ultra murah tetap mengindikasikan biaya produksi ditekan habis-habisan.

Greenwashing: Sekadar Ganti Label?

Greenwashing adalah praktik menyampaikan informasi yang menyesatkan agar perusahaan terlihat ramah lingkungan, padahal kenyataannya tidak. Tanda-tanda greenwashing antara lain:

  • Klaim “eco” tanpa bukti transparan.

  • Label “daur ulang” yang hanya sebagian kecil.

  • Strategi komunikasi besar-besaran tapi produksi tetap masif.

Apakah Fast Fashion Bisa Ramah Lingkungan?

Jawabannya bisa iya, tapi dengan syarat sangat ketat, antara lain:

  • Produksi dibatasi: tak bisa terus rilis ribuan model setiap bulan.

  • Transparansi rantai pasok: siapa penjahitnya, upahnya berapa, kondisi kerjanya.

  • Bahan benar-benar daur ulang, bukan sekadar 5% recycled polyester.

  • Kualitas ditingkatkan, agar pakaian awet dan bisa digunakan bertahun-tahun.

Tanpa perubahan fundamental pada model bisnisnya, fast fashion cenderung hanya “hijau di permukaan”.

Apa yang Bisa Dilakukan Konsumen?

  1. Beli Lebih Sedikit, Pilih yang Lebih Baik – pertimbangkan bahan, kualitas, dan umur pakai.

  2. Dukung Brand Lokal & Etis – banyak label Indonesia kini mengusung slow fashion.

  3. Beli Preloved / Thrift – sirkularitas adalah kunci mengurangi limbah tekstil.

  4. Cek Sertifikasi – cari label seperti GOTS (untuk bahan organik), OEKO-TEX, atau Fair Trade.

  5. Jangan Tertipu Label “Hijau” – telusuri siapa yang membuat pakaianmu.

Fast Fashion 2.0 adalah respons industri terhadap tekanan konsumen dan regulasi lingkungan. Namun sejauh ini, banyak perubahan yang masih kosmetik dan belum menyentuh akar permasalahan: over-produksi dan over-konsumsi.

Jika brand ingin benar-benar ramah lingkungan, mereka harus siap mengubah cara bermain: bukan hanya menjual lebih "eco", tapi menjual lebih sedikit. (***)

0 Response to "Fast Fashion 2.0: Bisakah Brand Murah Benar‑Benar Ramah Lingkungan?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel